1reservoir.com Bayangkan langit mendadak gelap, tanah berguncang hebat, dan ombak raksasa datang seperti tembok air yang menelan segalanya.
Itulah yang terjadi di Pulau Ambon ratusan tahun lalu — sebuah peristiwa yang kini diingat sebagai tsunami terbesar dalam sejarah Nusantara.
Gelombang setinggi seratus meter atau setara gedung tiga puluh lantai menghantam pesisir dengan kekuatan luar biasa.
Dalam sekejap, perkampungan hilang, perahu karam, dan ribuan nyawa terseret ke laut.
Suara gemuruh air bercampur dengan jeritan manusia menciptakan suasana yang, menurut para saksi, terasa seperti kiamat di bumi.
Salah satu saksi mata bencana itu adalah Georg Eberhard Rumphius, seorang ilmuwan asal Jerman yang tinggal di Ambon sebagai peneliti alam dan flora tropis.
Rumphius menuliskan peristiwa ini dengan sangat detail dalam catatannya, menjadikannya salah satu dokumen sejarah paling penting tentang bencana alam di kepulauan Indonesia.
Catatan Seorang Ilmuwan Tentang Kengerian Alam
Rumphius menggambarkan bagaimana bencana itu terjadi setelah serangkaian guncangan kuat mengguncang tanah Ambon.
Tidak lama setelah getaran berhenti, permukaan laut mendadak surut hingga memperlihatkan dasar laut yang biasanya tersembunyi.
Banyak warga, yang belum memahami tanda-tanda bahaya tsunami, justru berlari ke tepi pantai untuk melihat fenomena aneh itu.
Beberapa menit kemudian, air laut kembali — bukan dalam bentuk ombak biasa, melainkan dinding air raksasa yang melaju dengan kecepatan luar biasa.
Gelombang pertama menghantam pelabuhan, menghancurkan kapal dan bangunan yang berdiri di tepi laut.
Gelombang berikutnya bahkan lebih besar, melibas rumah, pohon kelapa, dan perbukitan kecil di sekitar pantai.
Rumphius mencatat bahwa tidak ada waktu untuk melarikan diri.
Semua terjadi begitu cepat hingga banyak keluarga terseret bersama rumah mereka.
Sebagian orang yang selamat melaporkan melihat pohon kelapa dan batu besar terangkat ke udara, terbawa arus yang berputar seperti pusaran raksasa.
Ribuan Nyawa Hilang dan Kota Lenyap
Bencana tersebut menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir Ambon.
Ribuan orang meninggal dunia, sementara sebagian lainnya dinyatakan hilang.
Desa-desa yang dulu ramai berubah menjadi hamparan lumpur dan puing.
Kisah ini menjadi trauma kolektif bagi masyarakat Maluku.
Dalam cerita rakyat setempat, kejadian itu dikenang sebagai “hari laut memakan daratan”.
Bagi banyak orang, itu bukan sekadar bencana alam, melainkan peringatan dari alam tentang keseimbangan yang terganggu.
Para peneliti modern memperkirakan bahwa tsunami raksasa itu kemungkinan besar dipicu oleh gempa tektonik besar di dasar Laut Banda.
Wilayah tersebut memang dikenal sebagai salah satu zona seismik paling aktif di dunia, tempat lempeng bumi saling bertumbukan dengan energi luar biasa.
Kehidupan Setelah Bencana
Setelah bencana, Ambon membutuhkan waktu lama untuk bangkit kembali.
Rumphius menulis bahwa banyak penduduk memilih meninggalkan wilayah pesisir dan pindah ke dataran yang lebih tinggi.
Pemerintah kolonial saat itu membantu membangun kembali pemukiman baru di tempat yang dianggap lebih aman.
Selain kehilangan fisik, dampak psikologis juga terasa mendalam.
Para penyintas mengalami trauma berat, takut setiap kali mendengar gemuruh laut atau getaran tanah kecil.
Namun, secara perlahan, masyarakat Ambon belajar menata ulang kehidupannya dan kembali membangun hubungan dengan laut — sumber penghidupan sekaligus ancaman terbesar mereka.
Rumphius yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Alam Maluku” tetap tinggal di Ambon hingga akhir hayatnya.
Ia menulis bahwa meski bencana itu menghancurkan banyak hal, ia juga melihat kekuatan luar biasa dalam semangat bertahan hidup orang Ambon.
Bagi Rumphius, tragedi itu memperlihatkan betapa kecilnya manusia di hadapan kekuatan alam, namun juga betapa tangguhnya manusia menghadapi penderitaan.
Peringatan dari Masa Lalu
Bencana tsunami di Ambon menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya memahami tanda-tanda alam.
Fenomena surutnya air laut secara tiba-tiba, misalnya, kini dikenal sebagai sinyal bahaya yang mengharuskan orang segera menjauh dari pantai.
Pengetahuan semacam ini terus disosialisasikan dalam pendidikan kebencanaan di berbagai wilayah Indonesia.
Ahli geologi masa kini menyebut bahwa catatan Rumphius memiliki nilai ilmiah tinggi karena memberikan gambaran nyata tentang skala dan dampak tsunami di masa lampau.
Data historis semacam ini membantu ilmuwan modern dalam memetakan potensi bahaya tsunami di wilayah timur Indonesia.
Selain itu, kisah ini juga menjadi pengingat bahwa alam memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Meski teknologi semakin maju, bencana alam tetap bisa datang kapan saja tanpa peringatan.
Karena itu, kesadaran masyarakat dan kesiapsiagaan menjadi benteng pertama dalam menghadapi ancaman tsunami di masa depan.
Warisan Sejarah dan Kearifan Lokal
Hingga kini, masyarakat Ambon masih menyimpan kisah tentang tsunami besar tersebut dalam tradisi lisan mereka.
Cerita turun-temurun itu menjadi bentuk kearifan lokal untuk mengingatkan generasi muda agar selalu menghormati laut.
Beberapa desa bahkan memiliki upacara adat khusus sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan arwah para korban.
Kisah tsunami raksasa ini bukan hanya tragedi, tetapi juga pelajaran sejarah dan budaya.
Ia memperlihatkan bagaimana manusia belajar dari luka, kemudian membangun kembali kehidupan dengan lebih bijak.
Ambon yang dulu porak-poranda kini telah menjadi kota indah yang berdiri kokoh — bukti nyata bahwa kehidupan selalu menemukan jalan untuk bertahan.
Peristiwa tsunami 100 meter di Ambon adalah cermin dari kekuatan alam dan keteguhan manusia.
Meski dunia berubah, pesan yang ditinggalkannya tetap sama: manusia harus hidup selaras dengan alam, bukan menantangnya.
Dari kisah kelam itu, kita belajar bahwa setiap bencana menyimpan hikmah, dan setiap kehancuran selalu diikuti oleh harapan untuk bangkit kembali.

Cek Juga Artikel Dari Platform indosiar.site
