1reservoir.com Ombudsman Republik Indonesia menyoroti masih rendahnya sensitivitas tata kelola pelayanan publik terhadap kelompok rentan di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, dalam kuliah umum bertajuk “Ombudsman Sebagai Penjaga Keadilan Sosial: Pengawasan Pelayanan Publik untuk Kelompok Rentan” yang digelar di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur.
Dalam paparannya, Johanes menjelaskan bahwa pelayanan publik di berbagai sektor — mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga administrasi kependudukan — masih belum memperhatikan kerentanan sosial, budaya, maupun historis masyarakat yang dilayani. Akibatnya, banyak warga dari kelompok rentan yang kesulitan mengakses hak-hak dasar mereka.
“Masih banyak instansi publik yang tidak memiliki pendekatan inklusif, seragam, dan akuntabel. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat, khususnya kelompok rentan, mengalami kesulitan dalam mendapatkan layanan publik yang adil dan setara,” ujarnya.
Meningkatnya Pengaduan Menandakan Kesadaran Warga
Johanes menyoroti peningkatan jumlah pengaduan masyarakat terkait maladministrasi layanan publik, khususnya dari kelompok rentan. Menurutnya, peningkatan laporan bukan hanya menunjukkan banyaknya masalah, tetapi juga mencerminkan peningkatan kesadaran warga dalam menuntut hak-haknya.
“Tren pengaduan yang naik menunjukkan bahwa masyarakat sudah semakin berani bersuara. Mereka sadar bahwa pelayanan publik adalah hak, bukan kemurahan hati pemerintah,” jelasnya.
Namun di sisi lain, peningkatan laporan juga menunjukkan bahwa hambatan sistemik seperti keterbatasan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur yang tidak memadai, dan ketidakkonsistenan regulasi masih menjadi masalah serius. Inkonsistensi antara aturan, koordinasi antarinstansi, serta lemahnya pengawasan membuat pelayanan publik kerap tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Maladministrasi yang Terus Berulang
Ombudsman mencatat, maladministrasi pelayanan publik terhadap kelompok rentan memiliki pola yang berulang dari tahun ke tahun. Persoalan yang paling sering muncul antara lain konflik tanah ulayat, tumpang tindih perizinan, dan hambatan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
“Selama bertahun-tahun kami menerima laporan serupa. Artinya, instansi publik belum belajar dari kesalahan sebelumnya,” tegas Johanes.
Ia menambahkan bahwa sebagian besar kasus tersebut terjadi karena instansi tidak memiliki sistem pelayanan yang berbasis keadilan sosial dan keberagaman. Padahal, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kelompok dengan latar belakang budaya, geografis, dan sosial yang berbeda.
Menurut Johanes, pelayanan publik seharusnya tidak bersifat seragam dan harus memperhitungkan kebutuhan khusus setiap kelompok masyarakat. “Pelayanan publik tidak boleh memaksa semua orang mengikuti satu pola. Negara harus hadir dengan pendekatan yang adil dan manusiawi,” tambahnya.
Siapa yang Termasuk Kelompok Rentan?
Dalam kesempatan yang sama, Johanes menjelaskan bahwa kelompok rentan adalah setiap orang atau kelompok yang mengalami hambatan dalam mengakses hak-hak dasar karena kondisi fisik, sosial, ekonomi, budaya, geografis, atau politik. Kelompok ini mencakup penyandang disabilitas, lansia, masyarakat adat, perempuan korban kekerasan, anak-anak, dan kelompok miskin perkotaan maupun pedesaan.
Mereka berisiko tinggi mengalami diskriminasi dan eksklusi sosial. Karena itu, negara harus memberikan akomodasi dan perlakuan khusus agar kelompok rentan dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
“Jangan hanya karena jumlah mereka sedikit, lantas diabaikan. Setiap warga negara berhak atas pelayanan yang layak tanpa diskriminasi,” tegas Johanes.
Kelemahan Implementasi Regulasi
Johanes juga mengingatkan bahwa hak-hak kelompok rentan sebenarnya telah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Namun, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak pemerintah daerah belum memiliki panduan operasional yang spesifik dalam melayani kelompok rentan, baik dari segi infrastruktur maupun standar pelayanan.
Misalnya, di sejumlah daerah, penyandang disabilitas masih kesulitan mengakses kantor pemerintahan karena tidak tersedia ramp atau lift. Sementara di sektor pendidikan, anak-anak dari keluarga miskin seringkali terhambat dalam memperoleh bantuan karena mekanisme administrasi yang rumit.
Ombudsman menilai bahwa reformasi birokrasi harus disertai reformasi empati, yakni menempatkan kemanusiaan sebagai inti pelayanan publik. “SDM birokrasi harus memiliki kepekaan sosial, bukan hanya keahlian teknis. Jika tidak, pelayanan publik hanya menjadi rutinitas administratif tanpa makna,” ujar Johanes.
Sinergi Ombudsman dan Perguruan Tinggi
Dalam acara tersebut, turut hadir Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih dan Rektor Universitas Negeri Malang, Hariyono, yang menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara Ombudsman RI dan Universitas Negeri Malang.
Kerja sama ini bertujuan memperkuat kolaborasi antara lembaga negara dan dunia pendidikan dalam pengawasan pelayanan publik. Perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi pusat riset dan advokasi kebijakan publik yang berpihak pada kelompok rentan.
“Kolaborasi ini adalah langkah strategis untuk menciptakan pelayanan publik yang lebih manusiawi. Perguruan tinggi memiliki kapasitas akademik untuk membantu pemerintah dalam merancang kebijakan yang berbasis bukti dan empati,” kata Mokhammad Najih.
Ajakan untuk Generasi Muda
Menutup kuliah umum tersebut, Johanes mengajak mahasiswa untuk berperan aktif dalam advokasi keadilan sosial. Ia menilai bahwa generasi muda memiliki potensi besar menjadi agen perubahan dalam memperjuangkan hak-hak kelompok rentan.
“Jangan menunggu jadi pejabat dulu baru peduli. Mulailah dari lingkungan sekitar. Dengar suara yang tidak terdengar, bantu mereka yang tidak bisa bersuara,” pesan Johanes.
Ia menegaskan, pelayanan publik bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga tanggung jawab moral seluruh warga negara. Dengan kesadaran sosial yang tinggi, generasi muda dapat membantu membangun sistem pelayanan publik yang benar-benar adil, inklusif, dan sensitif terhadap perbedaan.
Penutup: Menuju Pelayanan Publik yang Berkeadilan
Pernyataan Ombudsman RI menjadi refleksi penting bahwa keadilan sosial tidak bisa tercapai tanpa pelayanan publik yang berpihak pada kelompok rentan. Pemerintah dituntut untuk memperkuat kapasitas aparatur, memperbaiki regulasi, dan memastikan akses yang setara bagi seluruh warga negara.
Sinergi antara lembaga negara, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil diharapkan menjadi fondasi kuat menuju pelayanan publik yang inklusif dan berkeadilan. Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan negara bukan hanya seberapa cepat layanan diberikan, tetapi seberapa banyak warga yang merasa dilayani dengan adil dan manusiawi.

Cek Juga Artikel Dari Platform lagupopuler.web.id
