Lahan Sawah Depok Terus Menyusut
Kota Depok menghadapi tantangan serius dalam menjaga ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Berdasarkan publikasi Kota Depok Dalam Angka Tahun 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok, luas lahan sawah yang tersisa pada tahun 2024 hanya mencapai 61 hektare. Angka ini mencerminkan penyusutan drastis ruang produksi pangan di tengah pesatnya urbanisasi dan alih fungsi lahan.
Data tersebut bersumber dari Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Depok dan menunjukkan bahwa sawah kini menjadi sumber daya yang sangat terbatas. Padahal, keberadaan sawah tidak hanya berfungsi sebagai penghasil padi, tetapi juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem kota, mengatur tata air, serta menjadi penyangga lingkungan dari dampak perubahan iklim.
Penyusutan ini sekaligus menjadi sinyal peringatan bahwa Depok semakin bergantung pada pasokan pangan dari luar daerah. Ketergantungan tersebut berpotensi meningkatkan kerentanan kota terhadap gejolak harga dan gangguan distribusi pangan.
Sawah Hanya Tersisa di Tiga Kecamatan
Kepala BPS Kota Depok, Agus Marzuki, menjelaskan bahwa lahan sawah yang masih bertahan hanya tersebar di tiga kecamatan, yakni Sawangan, Cipayung, dan Tapos. Tidak ada lagi sawah di kecamatan lainnya, yang sebelumnya juga pernah menjadi wilayah pertanian.
Kecamatan Sawangan memiliki luas sawah sekitar 4 hektare. Dari jumlah tersebut, hanya 2 hektare yang masih ditanami padi, sementara sisanya telah dimanfaatkan untuk tanaman lain. Kondisi ini menunjukkan adanya pergeseran pola pemanfaatan lahan yang dipengaruhi kebutuhan ekonomi masyarakat setempat.
Di Kecamatan Cipayung, luas sawah tercatat 7 hektare, namun seluruhnya tidak lagi ditanami padi. Lahan tersebut digunakan untuk tanaman nonpadi, yang menandakan berkurangnya fungsi sawah sebagai sumber produksi beras lokal.
Sementara itu, Kecamatan Tapos menjadi wilayah dengan lahan sawah terluas, mencapai 50 hektare. Seluruh lahan di kecamatan ini masih dimanfaatkan untuk penanaman padi, menjadikannya tumpuan utama produksi beras di Kota Depok.
Ketahanan Pangan Kota dalam Tekanan
Dengan luas sawah yang semakin menyempit, kemampuan Depok untuk menopang kebutuhan pangan warganya dari produksi lokal menjadi sangat terbatas. Produksi padi dari 61 hektare lahan jelas tidak sebanding dengan kebutuhan konsumsi ratusan ribu penduduk kota.
Kondisi ini membuat ketahanan pangan Depok sangat bergantung pada pasokan dari daerah lain seperti Karawang, Subang, atau wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam situasi normal, ketergantungan tersebut mungkin tidak terasa. Namun, ketika terjadi gangguan cuaca ekstrem, krisis logistik, atau fluktuasi harga pangan nasional, kota dengan produksi pangan minim akan menjadi pihak yang paling terdampak.
Selain itu, sawah juga memiliki fungsi ekologis penting, seperti menyerap air hujan, mencegah banjir, dan menjaga kualitas tanah. Hilangnya sawah berarti berkurangnya ruang resapan air yang berpotensi meningkatkan risiko genangan dan banjir di kawasan perkotaan.
Urbanisasi dan Alih Fungsi Lahan
Penyusutan lahan sawah di Depok tidak terlepas dari laju urbanisasi yang sangat cepat. Pertumbuhan perumahan, kawasan komersial, serta infrastruktur perkotaan mendorong alih fungsi lahan pertanian menjadi bangunan permanen.
Nilai ekonomi lahan untuk sektor properti sering kali jauh lebih tinggi dibandingkan pertanian, sehingga petani memilih menjual lahannya. Dalam jangka pendek, hal ini menguntungkan pemilik lahan. Namun dalam jangka panjang, kota kehilangan ruang hijau produktif yang sangat vital.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Depok, tetapi juga di banyak kota penyangga Jakarta. Namun, minimnya kebijakan perlindungan lahan pertanian perkotaan membuat penyusutan di Depok berlangsung lebih cepat.
Perlu Strategi Perlindungan Lahan Pertanian
Kepala BPS Kota Depok mengingatkan bahwa lahan sawah yang tersisa perlu dijaga dan dimanfaatkan secara optimal. Perlindungan lahan pertanian bukan sekadar urusan sektor pertanian, tetapi menjadi bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan kota.
Pemerintah daerah dapat memperkuat regulasi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), memberikan insentif kepada petani agar tetap mengelola sawah, serta mengintegrasikan pertanian perkotaan dalam perencanaan tata ruang.
Selain itu, inovasi pertanian modern seperti intensifikasi lahan, penggunaan varietas padi unggul, dan pengelolaan air yang efisien dapat membantu meningkatkan produktivitas dari lahan yang terbatas. Dengan demikian, meskipun luas sawah kecil, kontribusinya terhadap ketahanan pangan tetap optimal.
Sawah sebagai Warisan Lingkungan Kota
Keberadaan sawah di kota seperti Depok memiliki nilai lebih dari sekadar ekonomi. Sawah adalah warisan lingkungan yang menjaga keseimbangan alam di tengah beton dan aspal. Lanskap sawah juga memiliki nilai edukasi bagi generasi muda agar tetap mengenal sumber pangan dan pentingnya menjaga alam.
Agus Marzuki menegaskan pentingnya kesadaran bersama dalam memanfaatkan tanah secara bijak demi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Pesan ini menjadi pengingat bahwa pembangunan kota tidak boleh mengorbankan seluruh ruang produktif yang tersisa.
Menjaga Sawah, Menjaga Masa Depan Depok
Dengan luas sawah yang hanya tersisa 61 hektare, Kota Depok berada di titik kritis. Keputusan hari ini akan menentukan apakah sawah terakhir dapat dipertahankan atau justru menghilang sepenuhnya dalam beberapa tahun ke depan.
Menjaga sawah berarti menjaga ketahanan pangan, lingkungan, dan kualitas hidup masyarakat. Di tengah tantangan urbanisasi, komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan menjadi kunci agar Depok tetap memiliki ruang hijau produktif untuk generasi mendatang.
Baca Juga : Bupati Tangerang Perkuat Ketahanan Pangan Lewat Bantuan Alsintan
Jangan Lewatkan Info Penting Dari : footballinfo

